27 Dec 2013

PRAKTIKUM FARMASI FISIK I

PERCOBAAN : 1



KELARUTAN INTRINSIK OBAT
A.      TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dalam percobaan ini adalah memperkenalkan konsep dan proses pendukung system kelarutan obat dan menentukan parameter kelarutan zat.
B.       LANDASAN TEORI
Obat merupakan salah satu kebutuhan yang digunakan dalam upaya menunjang upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan masyarakat. Banyak bentuk sedian farmasi yang beredar di masyarakat diantaranya sediaan padat dan cair, terdapat sediaan yang mengandung  bahan aktif yang kelarutannya kecil dalam air. Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik. Senyawa-senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu (Bonajaya, 2012).
Secara kuantitatif, kelarutan dapat diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas pelarut yaitu momen dipolnya. Kelarutan suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan karena gas yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air bila suhu meningkat (Voight, 1994).
Daya kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan penting dalam formulasi suatu sediaan farmasi (Kim CK, 1999). Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang ditemukan saat ini bersifat hidrofobik. Kegunaan secara klinik dari obat-obat hidrofobik menjadi tidak efisien dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan mengakibatkan kecilnya penetrasi obat tersebut di dalam tubuh (Lawrence, 2000)). Kelarutan suatu zat berkhasiat yang kurang dari 1 mg/ml mempunyai tingkat disolusi yang kecil karena kelarutan suatu obat dengan tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan. Salah satu cara yang diterapkan oleh industri farmasi saat ini untuk meningkatkan kelarutan suatu obat yang bersifat lipofilik atau hidrofobik adalah dengan membuat sediaan emulsi (Jufri, 2004).
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limitingstep) pada proses absorpsi obat. Berbagai metode untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat telah banyak dilaporkan seperti pembuatan dispersi padat pembentukan prodrug, kompleks inklusi obat dengan pembawa dan modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan solvat . Salah satu metode menarik dan sederhana yang baru-baru ini dikembangkan dalam bidang ilmu bahan dan rekayasa kristal untuk meningkatkan laju pelarutan dan ketersediaan hayati obat-obat yang sukar larut adalah teknik kokristalisasi untuk menghasilkan kokristal (senyawa molekular) dengan sifat-sifat fisika dan fisikokimia yang lebih unggul (Zaini, 2011).
Parameter kelarutan merupakan suatu konsep yang penting, yang dapat digunakan sebagai parameter pemilihan pelarut. Penggunaan parameter kelarutan dalam pemilihan pelarut adalah berdasar aturan kimia yang telah dikenal yakni “like dissolved like”. Jika gaya antar molekul antara molekul pelarut dan solut memiliki kekuatan yang mirip, maka pelarut tersebut merupakan pelarut yang baik bagi solut tersebut (Hartati, 2012).
Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut dalam senyawa polar. Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar, misalnya lemak mudah larut dalam minyak.Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik antara ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Pelarut polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan % volume masing-masing komponen pelarut (Fiandari, 2012).
Asam salisilat adalah senyawa yang berkhasiat sebagai fungisidal dan bakteriostatis lemah.Asam salisilat mempunyai sifat sukar larut dalam air. Apabila asam salisilat diformulasikan sebagai sediaan topikal, maka pemilihan dasar salep  merupakan hal yang sangat penting, yang akan menentukan efek terapi asam salisilat. Asam salisilat bekerja keratolitis sehingga digunakan dalam sediaan obat luar terhadap infeksi jamur yang ringan.Semakin hidrofilik dasar salep, semakin mudah pula asam salisilat dilepas dari dasar salepnya karena sifat asam salisilat yang tidak larut dalam air (Astuti, 2007).

C.      ALAT DAN BAHAN
1.    Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
Ø  Erlenmeyer
Ø  Buret
Ø  Statif dan Klem
Ø  Pipet Tetes
Ø  Timbangan Analitik
Ø  Batang Pengaduk
Ø  Sendok Tanduk
Ø  Filler
Ø  Corong
Ø  Gelas Kimia
Ø  Pipet Ukur
2.    Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
Ø  Aquades
Ø  Asam Salisilat
Ø  Alkohol
Ø  Propylenglycol
Ø  NaOH 0,1 N
Ø  Indikator Fenolftalein


E.  HASIL PENGAMATAN
Erlenmeyer
Volume Pelarut
Volume
Air
Alkohol
Propylenglycol
NaOH
1
15 ml
4 ml
1 ml
11 ml
2
15 ml
3 ml
2 ml
9 ml
3
15 ml
2 ml
3 ml
6 ml
4
15 ml
1 ml
4 ml
9 ml
1.      Tabel Hasil Pengamatan

2.      Perhitungan
a.       Konstanta dielektrik
¯ Air
Erlenmeyer I                                             
    Dik : ε air  = 80,4
            V air  = 15 ml
    Dit  : ε air dalam campuran ?
   Peny : ε air dalam campuran =
                                                   =  60,3
¯ Alkohol/  Etanol
Erlenmeyer I
      Dik : ε etanol         = 25,7
                           V etanol       = 4 ml
       Dit  : ε etanol dalam campuran ?
                  Peny : ε etanol dalam campuran =
       =  5,14
¯ Propylenglycol
Erlenmeyer I
   Dik : ε Propylenglycol       = 42,5
            V  Propylenglycol     = 1 ml
    Dit  : ε Propylenglycol dalam campuran ?
   Peny : ε Propylenglycol dalam campuran =
                   =  2,125
¯ Kadar Asam Salisilat
Erlenmeyer I
V NaOH                                    = 11 ml
M NaOH                        = 0,1 M
V Asam Salisilat            = 20 ml
Dit : Kadar Asam Salisilat ?
Peny : Kadar Asam Salisilat  : M1 . V1   =  M2 . V2
                                                  0,1 . 11  =  M2 . 20      
                                                  1,1          = M2 . 20
                                                  M2          =  
                                                                 = 0,055

Konstanta  dielektrik pelarut campuran pada pelarut campuran dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Erlenmeyer
ε Air
ε Alkohol
ε Propylenglycol
ε pelarut campur
M. Asam Salisilat


1
60,3
5,14
2,125
67,565
0,055

2
60,3
3,855
4,25
68,405
0,045

3
60,3
2,57
6,375
69,245
0,03

4
60,3
1,285
8,5
70,085
0,025


3.      Grafik
 

 



F.  PEMBAHASAN
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam cairan. Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersin molekuler homogen.
Intrinsik obat merupakan suatu cara yang dilakukan untuk menentukan absorbsi  obat yang masuk kedalam tubuh yang bertujuan mengetahui kelarutan intrinsik obat dalam tubuh, dan proses penyerepannya. Pada hasil pengamatan diatas Kelarutan dipengaruhi adanya tetapan dielektrik. Tetapan dielektrik (pemitivitas Listrik) adalah perbandingn listrik yang tersimpan pada suatu bahan jika diberi sebuah potensial relative terhadap vakum  (ruang hampa) pengaruh tetapan dielektrik solven terhadap intrinsik obat. Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Dimana pelarut polar yang diberikan konstanta dielektrik maka semakin besar kelarutannnya. senyawa polihidrasi yang lain.
Pada percobaan ini digunakan beberapa larutan sebagai sampel diantaranya, Aquades, Etanol, Propylenglycol, Natrium hidroksida (NaOH) dan fenolptalein sebagai indikator. Seringkali zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut dari pada dalam satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (cosolvency). Metode yang digunakan adalah metode titrasi asam basa, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu larutan yang belum diketahui konsentrasinya dengan menggunakan larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, oleh karena itu pada percobaan digunakan larutan NaOH yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,1 N.
 Percobaan ini menggunakan 4 Erlenmeyer yang berbeda, pertama-tama dilakukan adalah menimbang Asam salisilat 0,5 sebanyak 4 kali dan memasukkan Asam salisilat tersebut kedalam 4 erlenmeyer yang berbeda, dan  diencerkan dengan aquades sebanyak 15 ml. kemudian  dimasukkan Etanol dan Propylenglycol secara terpisah kedalam masing-masing erlenmeyer yang telah berisi 15 ml aquades yang mengadung asam salisilat. Berdasarkan volume yang telah ditentukan, yaitu etanol pada Erlenmeyer 1 = 4 ml, Erlenmeyer 2 = 3 ml, Erlenmeyer 3  = 2 ml, erlenmeyer 4 = 1 ml,. Sedangkan volume Propylenglycol pada masing-masing erlenmeyer yaitu : erlenmeyer 1 = 1 ml, erlenmeyer 2 = 2 ml, erlenmeyer 3 = 3 ml, erlenmeyer 4 = 4  ml. kemudian dikocok sampai semua larutan didalam Erlenmeyer tersebut tercampur. Maksud dari penggocokkan adalah unutk membuat larutan ini homogeny antara ethanol, propylenglikol dan asam salisilat pada masing erlenmeyer. Setelah proses penggocokkan selesai larutan disaring untuk memisahkan antara fitrat dan residu dari larutan tersebut. Setelah itu filtrat diambil untuk dititrasi sedangkan residu dari larutan tidak digunakan. Filtrat tersebut ditambahkan beberapa tetes Indikator dan dititrasi dengan larutan NaOH. Masing-masing erlenmeyer memiliki volume titrasi yang berbeda, Erlenmeyer 1 = 11 ml, erlenmeyer 2 = 9 ml, erlenmeyer 3 = 6 ml, erlenmeyer 4 = 5 ml.
Setelah diketahui volume titrasinya, ditentukan kadar asam salisilat pada masing – masing erlenmeyer. Diperoleh kadar asam salisilat yang paling besar yaitu pada Erlenmeyer 1  yaitu 0,055 M karena hal ini dipengaruhi volume dari NaOH yang lebih kecil, dan yang paling sedikit yaitu pada Erlenmeyer 4 yaitu 0,025 M, dari sini dapat dikatakan bahwa besarnya kadar asam salisilat ditentukan pula dengan volume NaOH, semakin besar volumenya maka semakin kecil pula kadar asam salisilatnya begitu pun sebaliknya. Hal itu juga berkaitan dengan kepolaran larutan asam salisilat, di mana semakin meningkat nilai kepolaran suatu larutan tersebut maka semakin meningkat pula nilai konsentrasinya asam salisiat yang larut.
Kemudian ditentukan pula konstanta dielektrik air dalam pelarut campur, yaitu dengan mengalikan jumlah dan persen volume air yaitu : 60,3 Dengan cara yang sama ditentukan kostanta dialetrik pada ethanol yaitu pada erlenmeyer 1 = 5,14 ; erlenmeyer 2 = 3,855; erlenmeyer 3 = 2,57 ; erlenmeyer 4 = 1,285, sedangkan konstanta dielektrik pelarut campur pada Porpilenglikol yaitu pada erlenmeyer 1 = 2,125; erlenmeyer 2 = 4,25 ; erlenmeyer 3 = 6,375; erlenmeyer 4 = 8,5. Dari semua kostanta dielektrik antara air, ethanol, dan propylenglikol didapatkan konstanta dielektrik dari pelarut campur (air + ethanol + propylenglikol), yaitu pada erlenmeyer 1 = 67,565; Erlenmeyer 2 = 68,405 ; erlenmeyer 3 = 69, 245; erlenmeyer 4 = 70,085.
Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus -OH dan gugus nonpolar pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat dapat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan non polar sekaligus dalam satu gugus, asam salislat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut non polar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut non polar, tetapi mudah larut pada etanol yang merupakan pelarut semi polar.
Berdasarkan teori terjadi perbedaan dengan hasil percobaan yang telah dilakukan. Hal ini kemungkinan dikarenakan, pengocokan terhadap larutan tidak merata dan kurang hati-hati serta kecepatan tirasi larutan NaOH yang berlebihan sehingga volumenya besar dan menghasilkan warna yang lebih terang. Dari hasil percobaan, dapat diketahui bahwa semakin kecil volume NaOH maka jumlah kadar asam salisilatnya akan semakin besar. Sebaliknya, apabila volume NaOH nya besar maka kadar asam salisilatnya juga sedikit. Pada keadaan ini, suhu dan ukuran permukaan sangat berpengaruh, semakin tinggi suhu semakin cepat suatu zat akan larut. Semakin kecil luas permukaan, semakin cepat pula suatu zat itu larut.


G.   KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai konstanta dielektriknya maka jumlah asam salisilat yang terlarut semakin besar dan begitu juga sebaliknya semakin besar nilai konstanta dielektriknya maka jumlah asam salisilat yang terlarut semakin sedikit

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, ika yuni, Iskandar Sudirman, dan Umi Hidayat, 2007, “Pengaruh Konsentrasi  Adeps Lanae dalam Dasar Salep Cold Cream Terhadap Pelepasan Asam Salisilat”, Pharmacy, Vol. 05, No. 01, Apil 2007, ISSN : 1693-3591, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto.
Bonajaya, Alex, 2012, “Zat Pembasah Teknologi Sediaan Semi”, Http://alx14all.blogspot.com/2012/10/zat-pembasah-teknologi-sediaan-semi.html.
Fiandari, Astri, 2012, “Kelarutan Intrinsik Obat”, Http://sweetest-tea.blogspot.com/2012/04/kelaruatn-intrinsik-obat.html. 
Hartati, I., 2012, “Prediksi Kelarutan Theobromine pada Berbagai Pelarut Menggunakan Parameter Kelarutan Hildebrand”, Momentum, Vol. 8, No. 1, April 2012 : 11-16, Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
Jufri, Mahdi, Asnimar Binu, dan Julia Rahmawati, 2004, “Formulasi Gameksan dalam Bentuk Mikroemulsi”, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 1, No. 3, Desember 2004, 160-174, ISSN : 1693-9883, Departemen Farmasi FMIPA-UI Depok, Jakarta.
Voight, 1994, “Buku pelajaran Teknologi Farmasi” edisi V, Penerbit Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Zaini, E., Halim ,Sundani N. Soewandhi, dan Dwi Setyawan, 2011, “Peningkatan Laju Pelarutan Trimetoprim Melalui Metode Ko-Kristalisasi dengan Nikotinamida”, Jurnal Farmasi Indonesia, Vol. 5, No. 4, Juli 2011 : 205-212, Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang.


 



No comments:

Post a Comment