KELARUTAN INTRINSIK OBAT
A.
TUJUAN
PERCOBAAN
Tujuan dalam percobaan ini adalah memperkenalkan
konsep dan proses pendukung system kelarutan obat dan menentukan parameter
kelarutan zat.
B.
LANDASAN
TEORI
Obat merupakan salah satu kebutuhan
yang digunakan dalam upaya menunjang upaya peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan masyarakat. Banyak bentuk sedian farmasi yang beredar di masyarakat
diantaranya sediaan padat dan cair, terdapat sediaan yang mengandung bahan aktif yang kelarutannya kecil dalam
air. Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi
sehingga obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik.
Senyawa-senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak
sempurna atau tidak menentu (Bonajaya, 2012).
Secara kuantitatif, kelarutan dapat
diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada
suatu suhu tertentu. Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas
pelarut yaitu momen dipolnya. Kelarutan suatu zat padat dalam air akan semakin
tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan semakin
renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut. Merenggangnya jarak antar
molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi lemah
sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda dengan zat
padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan menyebabkan kelarutan gas dalam air
berkurang. Hal ini disebabkan karena gas yang terlarut di dalam air akan
terlepas meninggalkan air bila suhu meningkat (Voight, 1994).
Daya
kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan penting dalam formulasi suatu
sediaan farmasi (Kim CK, 1999). Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang
ditemukan saat ini bersifat hidrofobik. Kegunaan secara klinik dari obat-obat
hidrofobik menjadi tidak efisien dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan
mengakibatkan kecilnya penetrasi obat tersebut di dalam tubuh (Lawrence,
2000)). Kelarutan suatu zat berkhasiat yang kurang dari 1 mg/ml mempunyai
tingkat disolusi yang kecil karena kelarutan suatu obat dengan tingkat disolusi
obat tersebut sangat berkaitan. Salah satu cara yang diterapkan oleh industri
farmasi saat ini untuk meningkatkan kelarutan suatu obat yang bersifat
lipofilik atau hidrofobik adalah dengan membuat sediaan emulsi (Jufri, 2004).
Kelarutan
merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam
meramalkan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai
kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan
ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate
limitingstep) pada proses absorpsi obat. Berbagai metode untuk meningkatkan
kelarutan dan laju disolusi obat telah banyak dilaporkan seperti pembuatan
dispersi padat pembentukan prodrug, kompleks inklusi obat dengan pembawa
dan modifikasi senyawa menjadi bentuk garam dan solvat . Salah satu metode menarik
dan sederhana yang baru-baru ini dikembangkan dalam bidang ilmu bahan dan
rekayasa kristal untuk meningkatkan laju pelarutan dan ketersediaan hayati
obat-obat yang sukar larut adalah teknik kokristalisasi untuk menghasilkan
kokristal (senyawa molekular) dengan sifat-sifat fisika dan fisikokimia yang
lebih unggul (Zaini, 2011).
Parameter
kelarutan merupakan suatu konsep yang penting, yang dapat digunakan sebagai
parameter pemilihan pelarut. Penggunaan parameter kelarutan dalam pemilihan
pelarut adalah berdasar aturan kimia yang telah dikenal yakni “like dissolved
like”. Jika gaya antar molekul antara molekul pelarut dan solut memiliki
kekuatan yang mirip, maka pelarut tersebut merupakan pelarut yang baik bagi
solut tersebut (Hartati, 2012).
Senyawa
polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut dalam senyawa polar. Sedangkan
senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar, misalnya lemak mudah
larut dalam minyak.Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik
antara ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar
sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Tetapan dielektrik suatu
campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik
masing-masing yang sudah dikalikan dengan % volume masing-masing komponen
pelarut (Fiandari, 2012).
Asam
salisilat adalah senyawa yang berkhasiat sebagai fungisidal dan bakteriostatis
lemah.Asam salisilat mempunyai sifat sukar larut dalam air. Apabila asam
salisilat diformulasikan sebagai sediaan topikal, maka pemilihan dasar salep merupakan hal yang sangat penting, yang akan
menentukan efek terapi asam salisilat. Asam salisilat bekerja keratolitis
sehingga digunakan dalam sediaan obat luar terhadap infeksi jamur yang
ringan.Semakin hidrofilik dasar salep, semakin mudah pula asam salisilat
dilepas dari dasar salepnya karena sifat asam salisilat yang tidak larut dalam
air (Astuti, 2007).
C.
ALAT
DAN BAHAN
1. Alat
Alat yang digunakan
dalam percobaan ini adalah :
Ø Erlenmeyer
Ø Buret
Ø Statif
dan Klem
Ø Pipet
Tetes
Ø Timbangan
Analitik
Ø Batang
Pengaduk
Ø Sendok
Tanduk
Ø Filler
Ø Corong
Ø Gelas
Kimia
Ø Pipet
Ukur
2. Bahan
Bahan yang digunakan
dalam percobaan ini adalah :
Ø
Aquades
Ø
Asam Salisilat
Ø
Alkohol
Ø Propylenglycol
Ø
NaOH 0,1 N
Ø
Indikator Fenolftalein
E. HASIL PENGAMATAN
Erlenmeyer
|
Volume Pelarut
|
Volume
|
||
Air
|
Alkohol
|
Propylenglycol
|
NaOH
|
|
1
|
15 ml
|
4 ml
|
1 ml
|
11 ml
|
2
|
15 ml
|
3 ml
|
2 ml
|
9 ml
|
3
|
15 ml
|
2 ml
|
3 ml
|
6 ml
|
4
|
15 ml
|
1 ml
|
4 ml
|
9 ml
|
1. Tabel
Hasil Pengamatan
2. Perhitungan
a. Konstanta
dielektrik
¯ Air
Erlenmeyer I
Dik : ε air = 80,4
V air =
15 ml
Dit : ε air dalam
campuran ?
Peny : ε air dalam
campuran =
=
60,3
¯ Alkohol/ Etanol
Erlenmeyer I
Dik
: ε etanol =
25,7
V etanol =
4 ml
Dit : ε etanol
dalam campuran ?
Peny : ε etanol dalam
campuran =
=
5,14
¯ Propylenglycol
Erlenmeyer I
Dik : ε Propylenglycol = 42,5
V Propylenglycol =
1 ml
Dit : ε Propylenglycol dalam
campuran ?
Peny : ε Propylenglycol dalam campuran =
= 2,125
¯ Kadar Asam
Salisilat
Erlenmeyer I
V NaOH = 11 ml
M NaOH = 0,1 M
V Asam Salisilat = 20 ml
Dit : Kadar Asam Salisilat ?
Peny : Kadar Asam Salisilat : M1 . V1 = M2
. V2
0,1 . 11 = M2
. 20
1,1 = M2 . 20
M2 =
= 0,055
Konstanta dielektrik pelarut campuran pada pelarut
campuran dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Erlenmeyer
|
ε Air
|
ε Alkohol
|
ε Propylenglycol
|
ε pelarut campur
|
M. Asam Salisilat
|
|
1
|
60,3
|
5,14
|
2,125
|
67,565
|
0,055
|
|
2
|
60,3
|
3,855
|
4,25
|
68,405
|
0,045
|
|
3
|
60,3
|
2,57
|
6,375
|
69,245
|
0,03
|
|
4
|
60,3
|
1,285
|
8,5
|
70,085
|
0,025
|
3. Grafik
F. PEMBAHASAN
Kelarutan
diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada
suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan.
Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam cairan. Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai
konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan
secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih
zat untuk membentuk dispersin molekuler homogen.
Intrinsik obat merupakan suatu cara
yang dilakukan untuk menentukan absorbsi
obat yang masuk kedalam tubuh yang bertujuan mengetahui kelarutan
intrinsik obat dalam tubuh, dan proses penyerepannya. Pada hasil pengamatan
diatas Kelarutan dipengaruhi
adanya tetapan dielektrik. Tetapan dielektrik (pemitivitas Listrik) adalah
perbandingn listrik yang tersimpan pada suatu bahan jika diberi sebuah
potensial relative terhadap vakum (ruang
hampa) pengaruh tetapan dielektrik solven terhadap intrinsik obat. Kelarutan
suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Dimana pelarut polar yang
diberikan konstanta dielektrik maka semakin besar kelarutannnya. senyawa
polihidrasi yang lain.
Pada
percobaan ini digunakan beberapa larutan sebagai sampel diantaranya, Aquades,
Etanol, Propylenglycol, Natrium hidroksida (NaOH) dan fenolptalein sebagai
indikator. Seringkali zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut dari pada
dalam satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama
(cosolvency). Metode yang digunakan adalah metode titrasi asam basa, yaitu
suatu metode yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu larutan yang
belum diketahui konsentrasinya dengan menggunakan larutan standar yang telah
diketahui konsentrasinya, oleh karena itu pada percobaan digunakan larutan NaOH
yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,1 N.
Percobaan ini menggunakan 4 Erlenmeyer yang
berbeda, pertama-tama dilakukan adalah menimbang Asam salisilat 0,5 sebanyak 4
kali dan memasukkan Asam salisilat tersebut kedalam 4 erlenmeyer yang berbeda,
dan diencerkan dengan aquades sebanyak
15 ml. kemudian dimasukkan Etanol dan
Propylenglycol secara terpisah kedalam masing-masing erlenmeyer yang telah
berisi 15 ml aquades yang mengadung asam salisilat. Berdasarkan volume yang
telah ditentukan, yaitu etanol pada Erlenmeyer 1 = 4 ml, Erlenmeyer 2 = 3 ml,
Erlenmeyer 3 = 2 ml, erlenmeyer 4 = 1 ml,.
Sedangkan volume Propylenglycol pada masing-masing erlenmeyer yaitu :
erlenmeyer 1 = 1 ml, erlenmeyer 2 = 2 ml, erlenmeyer 3 = 3 ml, erlenmeyer 4 = 4
ml. kemudian dikocok sampai semua
larutan didalam Erlenmeyer tersebut tercampur. Maksud dari penggocokkan adalah
unutk membuat larutan ini homogeny antara ethanol, propylenglikol dan asam
salisilat pada masing erlenmeyer. Setelah proses penggocokkan selesai larutan
disaring untuk memisahkan antara fitrat dan residu dari larutan tersebut.
Setelah itu filtrat diambil untuk dititrasi sedangkan residu dari larutan tidak
digunakan. Filtrat tersebut ditambahkan beberapa tetes Indikator dan dititrasi
dengan larutan NaOH. Masing-masing erlenmeyer memiliki volume titrasi yang
berbeda, Erlenmeyer 1 = 11 ml, erlenmeyer 2 = 9 ml, erlenmeyer 3 = 6 ml,
erlenmeyer 4 = 5 ml.
Setelah
diketahui volume titrasinya, ditentukan kadar asam salisilat pada masing –
masing erlenmeyer. Diperoleh kadar asam salisilat yang paling besar yaitu pada
Erlenmeyer 1 yaitu 0,055 M karena hal
ini dipengaruhi volume dari NaOH yang lebih kecil, dan yang paling sedikit
yaitu pada Erlenmeyer 4 yaitu 0,025 M, dari sini dapat dikatakan bahwa besarnya
kadar asam salisilat ditentukan pula dengan volume NaOH, semakin besar volumenya
maka semakin kecil pula kadar asam salisilatnya begitu pun sebaliknya. Hal itu juga berkaitan dengan kepolaran larutan asam
salisilat, di mana semakin meningkat nilai kepolaran suatu larutan tersebut
maka semakin meningkat pula nilai konsentrasinya asam salisiat yang larut.
Kemudian
ditentukan pula konstanta dielektrik air dalam pelarut campur, yaitu dengan
mengalikan jumlah dan persen volume air yaitu : 60,3 Dengan cara yang sama
ditentukan kostanta dialetrik pada ethanol yaitu pada erlenmeyer 1 = 5,14 ;
erlenmeyer 2 = 3,855; erlenmeyer 3 = 2,57 ; erlenmeyer 4 = 1,285, sedangkan
konstanta dielektrik pelarut campur pada Porpilenglikol yaitu pada erlenmeyer 1
= 2,125; erlenmeyer 2 = 4,25 ; erlenmeyer 3 = 6,375; erlenmeyer 4 = 8,5. Dari
semua kostanta dielektrik antara air, ethanol, dan propylenglikol didapatkan
konstanta dielektrik dari pelarut campur (air + ethanol + propylenglikol),
yaitu pada erlenmeyer 1 = 67,565; Erlenmeyer 2 = 68,405 ; erlenmeyer 3 = 69,
245; erlenmeyer 4 = 70,085.
Gugus
polar dari asam salisilat adalah gugus -OH dan gugus nonpolar pada asam
salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam
salisilat dapat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non
polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan non polar sekaligus dalam satu
gugus, asam salislat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau
pelarut non polar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan
pelarut non polar, tetapi mudah larut pada etanol yang merupakan pelarut semi
polar.
Berdasarkan
teori terjadi perbedaan dengan hasil percobaan yang telah dilakukan. Hal ini
kemungkinan dikarenakan, pengocokan terhadap larutan tidak merata dan kurang
hati-hati serta kecepatan tirasi larutan NaOH yang berlebihan sehingga
volumenya besar dan menghasilkan warna yang lebih terang. Dari hasil percobaan,
dapat diketahui bahwa semakin kecil volume NaOH maka jumlah kadar asam
salisilatnya akan semakin besar. Sebaliknya, apabila volume NaOH nya besar maka
kadar asam salisilatnya juga sedikit. Pada keadaan ini, suhu dan ukuran
permukaan sangat berpengaruh, semakin tinggi suhu semakin cepat suatu zat akan
larut. Semakin kecil luas permukaan, semakin cepat pula suatu zat itu larut.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang
telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai konstanta
dielektriknya maka jumlah asam salisilat yang terlarut semakin besar dan begitu
juga sebaliknya semakin besar nilai konstanta dielektriknya maka jumlah asam
salisilat yang terlarut semakin sedikit
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, ika yuni, Iskandar Sudirman, dan Umi Hidayat,
2007, “Pengaruh Konsentrasi Adeps Lanae
dalam Dasar Salep Cold Cream Terhadap Pelepasan Asam Salisilat”, Pharmacy, Vol. 05, No. 01, Apil 2007, ISSN : 1693-3591, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Purwokerto.
Bonajaya, Alex, 2012, “Zat Pembasah Teknologi Sediaan
Semi”, Http://alx14all.blogspot.com/2012/10/zat-pembasah-teknologi-sediaan-semi.html.
Fiandari, Astri, 2012, “Kelarutan Intrinsik Obat”, Http://sweetest-tea.blogspot.com/2012/04/kelaruatn-intrinsik-obat.html.
Hartati, I.,
2012, “Prediksi Kelarutan Theobromine pada Berbagai Pelarut Menggunakan
Parameter Kelarutan Hildebrand”, Momentum,
Vol. 8, No. 1, April 2012 : 11-16,
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
Jufri, Mahdi,
Asnimar Binu, dan Julia Rahmawati, 2004, “Formulasi Gameksan dalam Bentuk
Mikroemulsi”, Majalah Ilmu Kefarmasian,
Vol. 1, No. 3, Desember 2004,
160-174, ISSN : 1693-9883, Departemen Farmasi FMIPA-UI Depok, Jakarta.
Voight, 1994, “Buku pelajaran Teknologi Farmasi” edisi
V, Penerbit Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Zaini, E., Halim
,Sundani N. Soewandhi, dan Dwi Setyawan, 2011, “Peningkatan Laju Pelarutan
Trimetoprim Melalui Metode Ko-Kristalisasi dengan Nikotinamida”, Jurnal Farmasi Indonesia, Vol. 5, No. 4, Juli 2011 : 205-212, Fakultas
Farmasi Universitas Andalas, Padang.
No comments:
Post a Comment